Friday, March 11, 2016

Gangguan Emosi dan Perilaku Anak

KATA PENGANTAR
            Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat, hidayah, serta karunianya kami dapat menyelesaikan Makalah ini tentang “Gangguan Emosi dan Perilaku Anak”. Makalah ini kami disusun guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pembelajaran Anak dengan Hambatan Emosi dan Perilaku Sosial, dengan segenap kerendahan hati tidak lupa kami ucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini terutama kepada:
1.      Ibu  Dinar Westri Andini, M.Pd Selaku dosen pembimbing mata kuliah Pembelajaran Anak dengan Hambatan Emosi dan Perilaku Sosial.
2.      Teman satu kelompok yang sudah bekerja sama dengan baik, dan juga kepada teman-teman yang sudah memberikan masukan saat pembuatan makalah.
            Kami menyadari dengan segenap hati bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna kesempurnaan makalah kami yang akan datang. Demikian atas perhatianya kami ucapkan terima kasih, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


Yogyakarta, 05 Maret 2016




Penyusun



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Anak dengan gangguan emosi dan tingkah laku biasa disebut anak tunalaras, memiliki emosional yang kurang baik, hal tersebut membuat interaksi sosial mereka dengan teman-temannya maupun guru menjadi terganggu. Mereka terkadang berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang tidak diterima oleh lingkungan. Semua itu terjadi dikarenakan keterampilan sosial yang dimiliki anak tunalaras masih kurang bail.
Anak dengan gangguan tingkah laku secara sepintas tidak bermasalah, namun sebenarnya, anak ini mengalami hambatan dalam masa perkembangannya. Setiap mencapai tahapan perkembangan baru anak memiliki krisis psikologis yang bisa menyebabkan keterampilan sosialnya tidak tertuju pada tahap positif, tetapi apabila egonya mampu menghadapi krisis ini maka perkembangan egonya akan mengalami kematangan dan anak akan mampu menyesuaikan diri dengan baik.
Anak dengan gangguan emosi dan tingkah laku biasanya menunjukan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang telah berlaku di sekitarnya sehingga meresahkan masyarakat. Banyak faktor yang berperan dalam pembentukan perilaku anak. Diantaranya adalah lingkungan. Selain itu, agama merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pembentukan tingkah laku anak.





B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan gangguan emosi dan perilaku lain anak?
2.      Bagaimana karakteristik anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku?
3.      Apa  faktor  penyebab gangguan  emosi dan perilaku anak?
4.       Bagaimana cara mengidentifikasi gangguan emosi dan perilaku anak?
5.      Apa pendekatan bagi anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku?

C.     Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut bertujuan :
1.      Untuk mengetahui apa itu gangguan emosi dan perilaku anak.
2.      Untuk mengetahui karakteristik anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku.
3.      Untuk mengetahui faktor  penyebab gangguan  emosi dan perilaku anak.
4.      Untuk mengetahui cara mengidentifikasi gangguan emosi dan perilaku anak.
5.      Untuk mengetahui pendekatan bagi anak yang mengalami gangguan emosi


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Gangguan Emosi dan Perilaku Anak
Gangguan Emosi dan Perilaku Anak atau Emotional And Behavioral Disorders (EBD) adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang lain, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus demi kesejahteraan dirinya maupun lingkungannya (ditjen PLB.com, 2006).
Menurut Pullen (dalam jurnal, 23 : 2009) menyatakan bahwa anak dengan gangguan emosi dan perilaku tidak mampu dengan baik dalam menjalin hubungan, misalnya hubungan pertemanan.  Anak dengan gangguan emosi dan perilaku mengalami kegagalan dalam membangun hubungan emosional yang dekat dan memuaskan dengan orang lain. Jika anak dengan gangguan emosi dan perilaku tersebut dapat membangun hubungan pertemanan, mereka seringkali akan berteman dengan anak-anak yang memiliki perilaku yang menyimpang.
Anak dengan gangguan emosi dan perilaku ini suka menghindar dari orang lain. Selain itu terdapat juga anak dengan gangguan emosi dan perilaku yang terisolasi dari lingkungannya, namun bukan karena mereka menghindar dari hubungan pertemanan, tetapi karena mereka yang  memulai permusuhan atau tindakan agresi. Akibat dari perilaku tersebut, anak dengan gangguan emosi dan perilaku seringkali dijauhi oleh anak-anak lain atau orang dewasa (orang tua, guru, kakak, dan lain-lain).
B.     Karakteristik Anak Yang Mengalami Gangguan Emosi dan Perilaku
Anak dengan gangguan emosi dan perilaku memiliki karakteristik yang komplek dan sering kali ciri-ciri perilakunya juga dilakukan oleh anak-anak sebaya lain, seperti banyak bergerak, mengganggu teman sepermainan, perilaku melawan, dan ada kalanya perilaku menyendiri. Anak dengan gangguan emosi dan perilaku dapat ditemukan di berbagai komunitas anak-anak, seperti play group, sekolah dasar, dan lingkungan bermain.
Menurut Sunardi (dalam Aini Mahabbati : 2006) seseorang dikatakan mengalami gangguan perilaku apabila memiliki satu atau lebih dari lima karakteristik berikut dalam kurun waktu yang lama, yaitu:
1.         Ketidakmampuan untuk belajar yang bukan disebabkan oleh faktor intelektualitas, alat indra maupun kesehatan.
2.         Ketidakmampuan untuk membangun atau memelihara kepuasan dalam menjalin hubungan dengan teman sebaya dan pendidik.
3.         Tipe perilaku yang tidak sesuai atau perasaan yang di bawah keadaan normal.
4.         Mudah terbawa suasana hati (emosi labil), ketidakbahagiaan, atau depresi.
5.         Kecenderungan untuk mengembangkan simtom-simtom fisik atau ketakutan-ketakutan yang diasosiasikan dengan permasalahan-permasalahan pribadi atau sekolah.
Lebih lanjut menurut Hallahan & Kauffman (dalam jurnal Aini Mahabbati,105 : 2006) menjelaskan tentang karakteristik anak dengan gangguan perilaku dan emosi, sebagai berikut:
1.        Intelegensi dan Prestasi Belajar
Anak-anak dengan gangguan ini memiliki intelegensi di bawah normal (sekitar 90) dan beberapa di atas bright normal.


2.        Immature, withdrawl behavior (internalizing)
Anak dengan gangguan ini, menunjukkan perilaku immature (tidak matang atau kekanak-kanakan) dan menarik diri. Mereka mengalami keterasingan sosial, hanya mempunyai beberapa orang teman, jarang bermain dengan anak seusianya, dan kurang memiliki keterampilan sosial yang dibutuhkan untuk bersenang-senang.
3.        Karakteristik Sosial dan Emosi. Agresif, acting out behavior (externalizing)
Conduct disorder (gangguan perilaku) merupakan permasalahan yang paling sering ditunjukkan oleh anak dengan gangguan emosi atau perilaku. Perilaku-perilaku tersebut seperti: mamukul, berkelahi, mengejek, berteriak, menolak untuk menuruti permintaan orang lain, menangis, merusak, vandalisme, memeras, yang apabila terjadi dengan frekuensi tinggi maka anak dapat dikatakan mengalami gangguan. Anak normal lain mungkin juga melakukan perilaku-perilaku tersebut tetapi tidak secara implusif dan sesering anak dengan conduct disorder.

C.     Faktor Penyebab Gangguan Emosi dan Perilaku Anak
Terdapat beberapa faktor penyebab permasalahan pada anak, baik yang bersifat intrinsik (berasal dari diri anak sendiri) maupun ekstrinsik (berasal dari luar diri anak). Faktor -faktor tersebut adalah:
1.    Faktor biologis
Beberapa penyebab biologis telah ditemukan berhubungan dengan gangguan emosi dan perilaku tertentu. Contohnya termasuk anak-anak yang lahir dengan sindrom alkohol janin, yang menunjukkan masalah dalam pengendalian impuls dan hubungan interpersonal yang dihasilkan dari kerusakan otak. Malnutrisi dapat juga menyebabkan perubahan perilaku dalam penalaran dan berpikir.



2.    Faktor lingkungan atau keluarga
Keluarga sangat penting dalam perkembangan anak-anak. Interaksi negatif atau tidak sehat di dalam keluarga seperti pelecehan dan penelantaran, kurangnya pengawasan, minat, dan perhatian, dapat mengakibatkan atau memperburuk kesulitan emosional yang ada dan/ atau kesulitan perilaku. Di sisi lain, interaksi yang sehat seperti kehangatan dan responsif, disiplin konsisten dengan panutan, dan perilaku yang mengharapkan penghargaan dapat meningkatkan perilaku positif pada anak-anak.
3.    Faktor Sekolah
Guru memiliki pengaruh yang sangat besar dalam interaksi dengan siswa. Interaksi positif dan produktif guru-murid dapat meningkatkan pembelajaran siswa dan perilaku sekolah yang sesuai serta memberikan dukungan ketika siswa mengalami masa-masa sulit. Lingkungan akademik yang tidak sehat dengan guru yang tidak terampil atau tidak sensitif dapat menyebabkan atau memperburuk perilaku atau gangguan emosi yang sudah ada.
4.    Faktor Masyarakat
Masalah masyarakat, seperti kemiskinan ekstrim disertai dengan gizi buruk, keluarga yang tidak berfungsi, berbahaya dan lingkungan yang penuh kekerasan, dan perasaan putus asa, dapat mengakibatkan atau memperburuk gangguan emosi atau perilaku anak.









D.    Cara Mengidentifikasi Gangguan Emosi dan Perilaku Anak
Mengidentifikasi permasalahan anak diartikan sebagai upaya menemukan gejala-gejala yang tampak pada penampilan dan perilaku anak dalam memperkirakan penyebab  masalah hingga bentuk bantuan yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Berbagai cara dapat dilakukan orang tua dan guru untuk mengetahui apakah anak mengalami permasalahan atau tidak. Cara-cara tersebut secara umum dibagi dua, yakni melalui tes dan  non tes.
1.    Tes
Tes merupakan salah satu alat bantu yang dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi permasalahan anak yang bersifat standar/baku.Bentuk tes ini dapat berupa pertanyaan-pertanyaan atau tugas –tugas yang harus dijawab atau dikerjakan anak serta dibatasi oleh waktu. Di antara beragam jenis tes yang banyak dipergunakan, di antaranya adalah:
a.       tes bakat
b.       inteligensi
c.        prestasi
d.      diagnostic
2. Non-tes
Teknik non tes biasanya dipergunakan untuk mengidentifikasi permasalahan anak dengan cara mengamati penampilan serta perilaku anak dalam aktivitas kesehariannya sehingga cenderung lebih fleksibelbila dibandingkan dengan teknik tes. Di samping itu, dipergunakan  pula kumpulan hasil karya dan pekerjaan anak selama periode waktu tertentu. Beberapa macam teknik non-tes yang populer, di antaranya adalah:
a.       observasi
b.      wawancara
c.       angket
d.      portofolio
e.       catatan anekdot
f.       daftar cek
g.      skala penilaian
h.      sosiometri
i.        angket
j.        tugas kelompok

E.     Pendekatan Teoritis Bagi Anak yang Mengalami Gangguan Emosi dan Perilaku
1.      Pendekatan Biomedis  
Pendekatan ini berusaha untuk menerangkan gangguan emosi dan tingkah laku dari sudut pandang kedokteran. Ketidaknormalan neurologis dan cidera neurologis sebagai penyebab gangguan ini. Strategi penanganan yang ditekankan dalam pendekatan ini yaitu penggunaan obat dan penanganan medis lainnya.            Guru dapat membantu siswa dan orang tua dalam mengatur penggunaan obat untuk siswa selama disekolah. Guru dapat pula membantu dengan mengawasi dan mencatat perubahan-perubahan siswa setelah mendapat penanganan medis.
2. Pendekatan Psikodinamik    
Pendekatan ini menitikberatkan pada kehidupan psikologis siswa. Berusaha memahami dan memecahkan kesulitan-kesulitan yang difokuskan pada penyebab-penyebab hambatan Pendekatan ini juga terapi untuk merubah sikap negatif siswa ke arah yang lebih positif. Ini dilakukan oleh psikiater, psikolog, konselor dan sejenisnya.

3. Pendekatan Perilaku
Pendekatan ini berusaha untuk mengubah perilaku yang merupakan problematika secara sosial dan personal bagi siswa tersebut. Tujuannya adalah menghilangkan perilaku negatif dan menggantinya dengan perilaku yang lebih layak secara sosial.

4. Pendekatan Pendidikan
Jarang ditemukan seorang siswa dengan gangguan emosional dan tingkah laku mendapat prestasi baik secara akademis. Mereka biasanya tidak mampu berkonsentrasi dan mengatur pembelajaran diri mereka. Sebaliknya, penanganan pembelajaran yang dapat membantu siswa berhasil secara akademis mungkin berdampak pada kehidupan emosi dan sikapnya. Suasana kelas yang baik dapat benar-benar menjadi lingkungan terapis.       

5. Pendekatan Ekologi
Pendekatan ekologi menekankan perlunya pemahaman siswa ke dalam konteks kehidupan mereka secara total.
Pendekatan ini juga menekankan perlunya membantu siswa yang mengalami hambatan harus dilakukan melalui usaha-usaha kolaborasi keluarga, sekolah, teman dan masyarakat.








BAB III
Penutup

A.     Kesimpulan

Gangguan Emosi dan Perilaku Anak atau Emotional And Behavioral Disorders (EBD) adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya.

Tuesday, November 18, 2014

PENDEKATAN dan MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM

Makalah Kurikulum
Pendekatan dan Model Pengembangan Kurikulum


Disusun oleh:
                                     Sulistiana Setiawati  (2013015232)

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA
YOGYAKARTA
2014
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nyalah sehingga kita dapat menyelesaikan tugas ini dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah kurikulum. Dan makalah ini berjudul “Pendekatan dan Model Pengembangan Kurikulum”. Tugas ini berfungsi dalam memperbanyak referensi penulis dalam mengikuti MK tersebut selain itu juga menambah wawasan kita sebagai mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan. Penulis sadar bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan,untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan agar membantu dalam pembuatan makalah di masa yang akan datang agar menjadi lebih baik sempurna dan memuaskan.
Atas perhatian dan dukungannya penulis mengucapkan banyak terima kasih.

                                                                                                Yogyakarta, 1 Oktober 2014
                                                                                                           
Penulis 
 BAB 1
Pendahuluan

A.     Latar belakang
Model atau rancangan bahkan model dalam kurikulum adalah komponen yang sangat menentukan keberhasilan sebuah proses pendidikan. Mendesain kurikulum bukanlah pekerjaan yang ringan. Ia membutuhkan kajian yang komprehensif dalam rangka mendapatkan hasil yang dapat mengakomodir tuntutan dan perubahan zaman. Mendesain kurikulum berarti menyusun model kurikulum sesuai dengan misi dan visi sekolah. Tugas dan peran seorang desainer kurikulum, sama seperti arsitek. Sebelum menentukan bahan dan cara mengkonstruksi bangunan terlebih dahulu seorang arsitek harus merancang model bangunan yang akan dibangun.
Ada dua pendekatan yang dapat diterapakan dalam pengembangan kurikulum, yaitu pendekatan administratif (administrative approach) dan pendekatan akar rumput (grasssroot approach).
Model pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan proses untuk membuat keputusan dan untuk merevisi suatu program kurikulum. Berikut ni akan dipaparkan beberapa model pengembangan kurikulum yang telah dikemukakan oleh para ahli kurikulum.

B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana pendekatan pengembangan kurikulum?
2.      Bagaimana model-model pengembangan kurikulum?















BAB II
Pembahasan

A.     PENDEKATAN DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM

   Ada dua pendekatan yang dapat diterapakan dalam pengembangan kurikulum, yaitu pendekatan administratif (administrative approach) dan pendekatan akar rumput (grasssroot approach).
1.         Pendekatan Administrarif (Administrative Approach)
Pendekatan ini disebut pendekatan top-down karena pengembangan kurikulum muncul atas inisiatif para pejabat pendidikan atau dari para pemegang kebijakan pendidikan, seperti Menteri Pendidikan, Dirjen Dikdasmen atau Kepala Dinas Pendidikan.  Selanjutnya dengan menggunakan semacam garis komando, pengembangan kurikulum menetes ke bawah. Oleh karena dimulai dari atas itulah, pendekatan ini juga dinamakan line staff model.
   Prosedur kerja atau proses pengembangan kurikulum yang menggunakan pendekatan ini pada umumnya dilakukan sebagai berikut.
Pertama : Pembentukan tim pengarah yang bertugas menyiapkan rumusan falsafah dan tujuan umum pendidikan, serta merumuskan kosep dasar dan garis-garis besa kebijakan.
   Kedua : pembentukan tim atau kelompok kerja untuk menjabarkan kebijakan atau rumusan-rumusan yang telah disusun oleh tim pengarah.
Tugas pokok tim ini adalah merumuskan tujuan-tujuan yang lebih operasional, memilih dan menyusun urutan bahan pelajaran, menyusun pedoman evaluasi, serta menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan kurikulum.
   Ketiga : Apabila kurikulum sudah selesai disusun oleh tim atau kelompok kerja, selanjutnya hasilnya diserahkan kepada tim perumus untuk dikaji dan diberi catatan-catatan atau direvisi. Bila dianggap perlu, kurikulum itu diujicobakan dan dievaluasi kelayakannya. Hasil uji coba itu digunakan sebagai bahan penyempurnaan.
   Keempat : Menyebarluaskan serta memerintahkan kepada setiap sekolah untuk mengimplementasikan kurikulum yang telah tersusun itu.
2.      Pendekatan Akar Rumput (Grassroots Approach)
   Model ini biasanya diawali dari keresahan guru tentang kurikulum yang berlaku, selanjutnya mereka memiliki kebutuhan dan keinginan untuk mempengaruhi atau menyempurnakaanya. Tugas para administrator dalam pengembangan model ini, tidak lagi berperan sebagai pengendali pengembangan kurikulum, akan tetapi hanya sebagai motivator dan fasilitator.
   Di negara-negara yang menerapkan sistem pendidikan yang desentraslistik, pengembangan pendekatan grassroots ini sangat mungkin untuk terjadi, sebab kebijakan pendidikan tidak lagi diatur oleh pusat secara sentralisasi, akan tetapi ditentukan oleh daerah (distrik) bahkan oleh sekolah dan guru. Pengembangan model ini hanya mungkin dapat dilakukan, apabila guru-guru di sekolah memiliki kemampuan serta sikap profesional yang tinggi, yang memahami seluk-beluk pendidikan. Apabila tidak maka sangat kecil kemungkinan  perubahan bisa terjadi.

Selain itu, masih ada pendekatan kurikulum namun dalam sisi yang lain.
1.      Pendekatan Mata Pelajaran
   Pendekatan ini bertitik tolak dari mata pelajaran (subject matter) sebagai suatu disiplin ilmu. Pola kurikulum dari pendekatan ini merupakan kurikulum yang terpisah-pisah. Implementasnya juga terpisah-pisah dengan sistem pembagian tanggung jawab guru sebagai “guru mata pelajaran”. Guru hanya bertanggung jawab terhadap mata pelajarannya saja. Pendekatan mata pelajaran dikenal dengan istilah separate subject centered curriculum atau isolatedd curriculum.
2.      Pendekatan Interdisipliner
   Masalah-masalah sosial yang ada dalam kehidupan nyata tidak mungkinn ditinjau hanya dari salah satu segi saja. Suatu peristiwa yang terjadi dalam masyarakat yang akan mempengaruhi segi-segi kehidupan harus ditinjau dari berbagai segi. Berdasarkan pertimbang tersebut, sebaiknya kurikulum sekolh dasar disusun berdasarkan mata pelajaran yang terpisah, melainkan sejumlah mata pelajaran yang memiliki ciri-ciri yang sama dipadukan menjadi suatu bidang studi (broadfield). pendekatan seperti itu disebut dengan pendekatan interdisipliner. Pendekatan interdisipliner terdiri dari tiga jenis pendekatan yaitu pendekatan struktural, pendekatan funsional, dan pendekatan daerah (interfield).
   Pendekatan struktural bertitik tolak dari struktur suatu disiplin ilmu tertentu. Pendekatan fungsional bertitik tolak dari suatu masalah tertentu dalam masyarakat atau lingkungan sekolah. Pendekatan daerah bertitik tolak dari pemilihan suatu daerah tertentu sebagai subjek pelajaran.
3.      Pendekatan Intergratif
   Pendekatan ini bertitik tolak dari suatu keseluruhan atau suatu kesatuan yang bermakna dan berstuktur. Bermakna artinya bahwa setiap keseluruhan itu memiliki makna, arti, dan faedah tertentu. Keseluruhan bukanlah penjumlahan dari bagian-bagian, melainkan suatu totalitas yang memiliki maknanya sendiri. Pendekatan ini berasumsi bahwa setiap bagian yang ada dalam keseluruhan itu berada dan berfungsi dalam suatu struktur tertentu.

B.     MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM

   Model pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan proses untuk membuat keputusan dan untuk merevisi suatu program kurikulum. Berikut ni akan dipaparkan beberapa model pengembangan kurikulum yang telah dikemukakan oleh para ahli kurikulum.
1.      Model PengembanganKurikulum dari Raplh W. Tyler
   Model Tyler menekankan pada bagaimana merancang suatu kurikulum disesuaikan dengan tujuan dan misi suatu institusi pendidikan. Menurut Tyler ada empat hal yang dianggap fundamental untuk mengembangkan suatu kurikulum. Pertama, berhubungan dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai; kedua, berhubungan dengan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan; ketiga, berhubungan dengan pengorganisasian pengalaman belajar: dan keempat, berhubungan dengan pengembangan evaluasi.
   Dalam pengembangan kurikulum, kegiatan merumuskan tujuan merupakan langkah pertama dan utama yang harus dikerjakan. Merumuskan tujuan kurikulum, sebenarnya sangat tergantung kepada teori dan filsafat pendidikan serta model kurikulum yang dianut. Bagi pengembang kurikulum yang lebih berorientasi kepada disiplin ilmu (subjek akademis) maka penguasaan berbagai kosep dan teori seperti yang tergambar dalam disiplin ilmu tersebut merupakan sumber utama tujuan bersifat disciplline oriented. Berbeda dengan pengembangan kurikulum yang lebih humanis yang mengarahkan tujuan kurikulum pada pengembangan pribadi siswa.    Sumber utama dalam perumusuan tujuan kurikulum tentu saja siswa itu sendiri, baik yangberhubungan dengan pengembangan minat dan bakat maupun kebutuhan untuk membekali hidupnya (child centered). Lain ladi dengan pengembang kurikulum yang beralihan rekonstruksi sosial (social recontructionist). Menurut aliran ini, kurikulum lebih bersifat “society centered” yang memposisikan kurikulum sekolah sebagai alat untuk masalah-masalah sosial kemasyarakatan merupakan umber utama perumusan tujuan kurikulum.
   Pengalaman belajar (learning experiences) adalah segala aktivitas siswa dalam berinteraksi dengan lingkungan. Menurut Tyler, pengalaman belajar bukanlah isi atau materi pelajaran dan bukan pula aktivitas guru memberikan pelajaran. Ada beberapa prinsip dalam menentukan pengalaman belajar siswa. Pertama, pengalaman belajar siswa harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Kedua, setiap rancangan pengalaman belajar sebaiknya melibatkan siswa. Ketiga, setiap rancangan pengalaman belajar sebaiknya melibatkan siswa. Keempat, satu pengalaman belajar dapat mencapai beberapa tujuan yang berbeda.
   Mengorganisasikan pengalaman belajar siswa bisa dalam bentuk unit mata pelajaran ataupun dalam bentuk program. Ada dua jenis pengorganisasian pengalaman belajar, yaitu pengorganisasian secara vertikal dan secara horizontal. Pengorganisasian secara vertikal apabila menghubungkan pengalaman belajar dalam satu kajian yang sama dalam tingkat/kelas yang berbeda. Sedangkan pengorganisasian secara horizontal jika kita menghubungkan pengalaman belajar dalam tingkat/kelas yang sama.ada tiga kriteria dalam mengorganisasi pengalam belajar ini yaitu : kesinambungan, urutan isi dan integrasi.
   Evaluasi memegang peran yang sangat penting dalam pengembangan kurikulum. Dengan evaluasi dapat ditentukan apakah kurikulum yang digunakan sudah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh sekoalh atau sebaliknya. Ada dua aspek yang perlu diperhatikan dalam pengembangan evaluasi. Pertama, evaluasi harus menilai ketercapaian perubahan tingkah laku siswa sesuai dengan tujuan pendidikn yang telah dirumuskan. Kedua, evaluasi sbauknya menggunakan lebih dari satua alat penilaian dalam suatu waktu tertentu. Dengan demikian, penilaian suatu program tidak mungkin hanya dapat mengandalkan hasil tes siswa setelah akhir proses pembelajaran. Penilaianya mestinya membandingkan antara penilaian awal sebelum siswa melakukan suatuprogram dengan setelah siswa melakukan program tersebut.





2.      Model Pengembangan Kurikulum dari Hilda Taba
 Model Taba lebih menitikberatkan pada bagaimana mengembangkan kurikulum sebagai suatu proses perbaikan dan penyempurnaan kurikulum.
Pada prinsipnya terdapat lima langkah pengembangan kurikulum menurut model Taba.
a)      Menghasilakan unit-unit percobaan(pilot unit) melalui langkah-langkah berikui.
1.      Mendiagnosis kebutuhan
Pada langkah ini pengembang kurikulum memulai dengan menentukan kebutuhan-kebutuhan siswa melalui diagnosis tentang gaps, berbagai kekurangan (deficiencies), dan perbedaan latar belakang siswa.
2.      Memformulasikan tujuan
Setelah kebutuhan-kebutuhan siswa didiagnosis, selanjutnya para pengembang kurikulum merumuskan tujuan.
3.      Memilih isi
Pemilihan isi kurikulum sesuai dengan tujuan merupakan langkah berikutnya.
4.      Mengorganisasikan isi
Berdasarkan hasil seleksi isi, selanjutnya isi kurikulum yang telah ditentukan itu disusun urutannya sehingga nampak pada tingkat atau kelas berapa sebaiknya kurikulum itu diberikan.
5.      Memilih pengalam belajar
Pada tahap ini ditentukan pengalam-pengalaman belajar yang harus dimiliki siswa untuk mencapai tujuan kurikulum.
6.      Mengorganisasikan pengalaman belajar
 Pengembang kurikulum selanjutnya menentukan bagaiman mengemas pengalaman-pengalaman belajar yang telah ditentukan itu ke dalam paket-paket kegiatan.
7.      Menentukan alat evaluasi serta prosedur yang harus dilakukan siswa
 Pada penentuan alat evaluasi iniguru dapat menyeleksi berbagai teknik yang dapat dilakukan untuk meilai prestasi siswa.
8.      Menguji keseimbangan isi kurikulum
Penguji ini perlu dilakukan untuk melihat kesesuian antara isi, pengalaman belajar dan tipe-tipe belajar siswa.
b)      Menguji coba unti eksperimen untuk memperoleh data dalam rangka menentukan validitas dan kelayakan penggunaanya.
c)      Merevisi dan mengonsolidasi unit-unit eksperimen berdasarkan data yang diperoleh dalam uji coba.
d)      Mengembangkan keseluruhan kerangka kurikulum
e)      Implementasi dan deseminisasi kurikulum yang telah diuji
Pada tahap terakhir ini guru-guru yang akan melaksanakan di lapangan, baik melalui penataran-penataran, lokakarya dan kegiatan lain. Disamping itu perlu juga fasilitas dan alat-aat sesuai dengan tuntutan kurikulum.
3.      Model Pengembangan Kurikulum dari Oliva
   Menurut Oliva suatu model kurikulum harus bersifat sederhana, komprehensif dan sistematik. Langkah yang dikembangkan dalam kurikulum model ini terdiri atas 12 komponen yang satu sama lain salinh berkaitan.
a.       Menetapkan dasar filsafat yang digunakan dan pandangan tentang hakikat belajar dengan mempertimbangkan hasil analisis kebutuhan umum siswa dan kebutuhan masyarakat.
b.      Menganalisis kebutuhan masyarakat tempat sekolah itu berasa, kebutuhan khusus siswa dan urgensi dari disiplin ilmu yang harus diajarkan.
c.       Merumuskan tujuan umum kurikulum yang didasarkan kepada kebutuhan seperti yang tercantum pada langkah sebelumnya.
d.      Merumuskan tujuan khusus kurikulum yang merupakan penjabaran dari tujuan umum kurikulum.
e.       Mengorganisasi rancangan implementasi kurikulum.
f.        Menjabarkan kurikulum dalam bentuk perumusan tujuan umum pembelajaran.
g.       Merumuskan tujuan khusus pembelajaran.
h.       Menetapkan dan menyeleksi strategi pembelajaran yang dimungkinkan dapat mencapai tujuan pembelajaran.
i.         Menyeleksi dan menyempurnakan teknik penilaian yang akan digunakan.
j.        Mengimplematasikan strategi pembelajaran.
k.      Mengevaluasi pembelajaran.
l.         Mengevaluasi kurikulum.
Menurut Oliva, model yang dikembangkannya ini dapat diguanakan dalam tiga dimensi, yaitu: pertama, bisa digunakan untuk penyempurnaan kurikulum sekolah dalam bidang-bidang khusus seperti bidang studi tertentu di sekolah, baik dalam tataran perencanaan kurikulum mauapun dalam proses pembelajarannya. Kedua, bisa digunakan untuk membuat keputusan dalam merancang suatu program kurikulum. Ketiga, bisa digunakan dalam mengembangkan program pembelajaran secara lebih khusus.
4.      Model Pengembangan Kurikulum dari Beauchamp
Beauchamp mengemukakan lima langkah dalam proses pengembangan kurikulum, seperti berikut.
a.       Menetapkan wilayah atau area yang akan melakukan perubahan suatu kurikulum.
b.      Menetapkan pihak-pihak yang akan terlibat ddalam proses pengembangan kurikulum.
c.       Menetapkan prosedur yang akan ditempuh.
d.      Implementasi kurikulum.
e.       Melaksanakan evaluasi kurikulum.
Landasan Pengembangan Kurikulum

Landasan pengembangan kurikulum pada hakikatnya merupakan faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan pada waktu pengembangan suatu kurikulum lembaga pendidikan, baik dilingkingan sekolah maupun luar sekolah.
Menurut Robert S. Zais (1976), kurikulum merupakan suatu lembaga pendidikan didasarkan kepada lima landasan (foundations) yang menggambarkan digambarkan dalam suatu model yang disebut “ An Eclectic Model of the curiculum and its foundation “.Robert S. Zais, Ralph W. Tyler (dalam Ornstein & Hunkins, 1988) mengemukakan pandangan yang erat kaitannya dengan beberapa aspek yang melandasi suatu kurikulum (dalam hal ini disebut scohool purposes).
Dari kedua pandangan tersebut, secara umum terdapat tiga pokok yang mendasari pengembangan kurikulum, yaitu landasan filososis, landasan psikologis, dan landasan sosiologis.
A.     LANDASAN FILOSOFIS
Landasan filosofis mengacu pada petingnya filsafat dalam melaksanakan, membina, dan mengembangkan kurikulum di sekolah. Filsafat pendidikan pada dasarnya adlah penerapan dari pemikiran-pemikiran filosofis untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan. Menurut mudyahardjo (1989), terdapat tiga sistem pemikiran filsafat yang sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan di Indonesia. Ketiga sistem filsafat tersebut yaitu idealisme, realisme, dan pragmatisma.
Filsafat merupakan perangkat nilai-nilai yang melandasi dan membimbing ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Falasafah yang dianut oleh suatu negara bagaimanapun akan mewarnai tujuan pendidikan di negara tersebut. Dengan demikian, tujuan pendidikan setiap negara akan berbeda dengan negara lainnya, disesuaikan dengan falsafah yang dianut oleh negara-negara tersebut. Tujuan pendidikan pada dasarnya merupakan rumusan  yang komperhensif mengenai apa yang seharusnya dicapai. Tujuan ini memuat pertanyaan-pertanyaan (statements) mengenai berbagai kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh siswa selaras dengan sistem nilai dan filsafat yang dianut.
Herbert Spencer (dalam Nasution, 1982) mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan itu harus memuat hal-hal sebagai berikut :
1.      Self-preservation, mengacu pada kemampuan individu untuk dapat menjaga kelangsungan hidupnya dengn sehat, mencegah penyakit, hidup teratur, dan lain-lain.
2.      Securing the necessities of life, mengacu pada kemampuan individu untuk sanggup mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan hidup dengan melakukan suatu pekerjaan.
3.      Rearing of family, mengacu pada kemampuan menjadi orang tua yang sanggup bertanggng jawab atas pendidikan anaknya dan kesejahteraan keluarganya.
4.      Maintaining proper social and political relationships, mengacu kepada kemampuan individu sebagai mekhluk sosial yang dhidup dalam lingkungan masyarakat dan negara.
5.      Enjoying leisure time, mengacu pada kemampuan individu untuk memanfaatkan waktu senggangnya dengan memilih kegiatan-kegiatan yang menyenangkan dan menambah kenikmatan dan kegairahan hidup.
The United States Office of Education pada tahun 1918 telah mencanangkan tujuan pendidikan dalan Seven Cardinal Principles yang memuat hal-hal berikut :
1.      Health
2.      Command of fundamental processes
3.      Worthy home membership
4.      Vocational efficiency
5.      Citizenship
6.      Worthy use of  leasure
7.      Satisfaction of  religious needs
Tujuan-tujuan pendidikan yang diuraikan di atas adalah tujuan pendidikan yang dikembangkann di Amerika Serikat beberapa tahun yang silam. Tujuan pendidikan di Indonesia bersumber pada pandangan dan cara hidup manusia Indonesia, seperti yang telah tertuang dalam Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan , kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa bertanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Kurikulim pada hakikatnya adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Oleh karena tujuan pendidikan itu sangat diwarnai oleh falsafah atau pendangan hidup yang dianut suatu bangsa maka kurikulum yang dikembangkan juga akan mencerminkan falsafah pandangan hidup tersebut.
Pengembangan kurikulum, walaupun, pada tahap awal sangat diwarnai oleh filsafat dan ideologi Negara, namun menuntut senantiasa diperbaiki diperbarui, dan disempurnakan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan karena kurikulum bersifat hipotesis. Yaitu kurikulum menentukan manusia hari esok (masa depan) pada hari iniberdasarkan pengalaman masa lalu.

B.     LANDASAN PSIKOLOGI
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, sedangkan kurikulum adalah upaya menentukan program pendidikanuntuk mengubah perilaku manusia.Siswa adalah individu yang sedang berada dala proses perkembangan, seperti perkembanga fisik atau jasmani, intelektual, social, emosional, moral. Tugas utama seorang guru adalah membantu mengoptimalkan perkembangan siswa.
Psikologi belajar berkenaan atau memberikan sumbangan bagi kurikulum dalam hal bagaimana kurikulum itu diberikan kepada siswa dan bagaimana siswa harus mempelajarinya.Psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam menentukan isi kurikulum yang diberikan kepada siswa agar tingkat keluasan dan kedalaman materi atau bahan ajar sesuai dengan taraf perkembangan siswa.
Oleh karena kedua hal tersebut yang sangat penting peranannya dalam rangka mengembangkan suatu kurikulum maka berikut ini diuraikan secara lebih lengkap lagi.
1.      Perkembangan Siswa dan Kurikulum
Pandangan tentang anak sebagai makhluk yang unik sangat berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum pendidikan.Setiap anak merupan pribadi tersendiri, memiliki perbedaan disamping persamaannya. Implikasi dari hal tersebut terhadap pengembangan kurikulum, yaitu sebagai berikut :
a.    Setiap anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat, minat, dan kebutuhannya.
b.    Disamping menyediakan pelajaran yang sifatnya umum (program inti) yang wajib dipelajari setiap anak, sekolah menyediakan pula pelajaran-pelajaran pilihan yang sesuai dengan minat anak.
c.    Kurikulum selain menyediakan bahan ajar yang bersifat kejuruan atau keterampilan juga menyediakan bahan ajar yang bersifat akademik.
d.    Kurikulum memuat tujuan yang mengandung pengetahuan, nilai atau sikap, dan keterampilan yang menggambarkan keseluruhan pribadi yang utuh lahir dan batin.

Implikasi lain dari pengetahuan tentang anak atau individu dalam proses pelaksanaan kurikulum (pembelajaran ) dapat diuraikan sebagai berikut :
a.    Tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara optimal selalu berpusat kepada perubahan tingkah laku siswa.
b.    Bahan atau meteri pembelajaran yang diberikan sesuai dengan kebutuhan, minat dan perhatian siswa dan bahan tersebut mudah dijangkau oleh siswa.
c.    Strategi pembelajaran atau cara menyampaikan bahan ajar disesuaikan dengan taraf perkembangan siswa.
d.    Media yang dipakai senantiasa dapat menarik perhatian dan minat siswa.
e.    Sitem evaluai berpadu dalam satu kesatuan yang menyeluruh dan berkesinambungan dari satu tahap ke tahap lainnya dan dijalankan secara terus-menerus.
1.      Psikologi Belajar dan Kurikulum
Psikologi belajar berkaitan dengan bagaimana individu atau siswa belajar. Belajar dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan perilaku yang terjadi melalui pengalaman. Segala perubahan perilaku baik pada aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), maupun psikomotorik (keterampilan) yang terjadi karena proses pengalaman, dapat dikategorikan sebagai perilaku hasil belajar.
Psikologi atau teori belajar yang berkembang pada dasarnyabdapat dikelompokkan kedalam tiga rumpun, yaitu :
a.    Teori daya, menurut teori ini dari kelahiran anak atau individu telah memiliki potensi-potensi atau daya-daya tertentu. (faculities) yang masing-masing memiliki fungsi tertentu, seperti daya mengingat, berfikir, mencurahkan pendapat, mengamati, memecahkan masalah, dan daya-daya lainnya. Daya-daya tersebut dilatih agar berfungsi dengan baik. Daya yang terlah terlatih dapat dipindahkan ke dalam pembentukan daya daya-daya lain. Pemindahan (transfer) mutlak dilakukan melalui latihan (drill). Oleh karena itu, pengertian mengajar menurut teori ini adalah melatih siswa dalam daya-daya tersebut dan cara mempelajarinya pada umumnya melalui bhafalan dan latihan.
b.    Teori behaviorisme, dalam teori ini terdapat tiga teori, yaitu teori koneksionisme (teori asosiasi), teori kondisioning, dan teori pemungutan (reinforcement/operant conditioning). Teori behaviorisme ini berangkat dari asumsi bahwa individu tidak membawa potens sejak lahir. Perkembangan individu ditentukan oleh lingkungan (keluarga, sekolah, dan masyarakat). Perkembangan anak menyangkut hal-hal nyata yang dapat dilihat dan diamati.
c.    Teori organismic (gestalt), teori ini bertentangan dengan teori koneksionisme/asosiasi, karena menurut teori gestalt, peran dari seorang guru yaitu sebagai pembimbing bukan penyampai pengetahuan, dan siswa berperan sebagai pengolah bahan pelajaran. Belajar menurut teori ini bukanlah menghafal, akan tetapi memecahkan masalah, dan metode belajar yang dipakai adalah metode ilmiah dengan cara anak dihadapkan pada berbagai masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data untuk memecahkan masalah, menguji hipotesis, dan pada akhirnya siswa dibimbing untuk menarik kesimpulan-kesimpulan.

Teori ini banyak mempengaruhi praktik pelaksanaan kurikulum di sekolah, karena teori ini memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut :
a.       Belajar itu berdasarkan keseluruhan
Dalam belajar siswa mempelajari bahan pelajaran secara keseluruhan. Bahan-bahan dirinci kedalam bagian-bagianuntuk dipelajari secara keseluruhan, dan dihubungkan satu sama lain secara terpadu.
b.      Belajar adalah pembentukan kepribadian
c.       Siswa dibimbing untuk memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara berimbang.Ia dibina untuk menjadi manusia seutuhnya, yaitu manusia yang memiliki keseimbangan lahir dan batin antara pengetahuan dengan sikapnya dan antara sikap dengan keterampilannya. Seluruh kepribadiannya diharapkan utuh melalui proses pengajaran yang terpadu.
d.      Belajar berkat pemahaman
Menurut teori ini belajar adalah proses pemehaman. Pemahaman mengandung makna penguasan pengetahuan yang diselaraskan dengan sikap kan keterampilan, pemahaman dapat pula diartikan sebagai kemudahan dalam menemukan suatu pemecah masalah.
e.       Belajar berdasarkan pengalaman
Proses belajar adalah bekerja, mereaksi, memahami, dan mengalami. Siswa mengolah bahan pelajaran melalui diskusi, tanya jawab, kerja kelompok, demonstrasi, survey lapangan, karyawisata, atau belajar diperpustakaan.
f.        Belajar adalah suatu proses perkembangan
Dalam hubungan ini terdapat tiga hal yang perlu diketahui guru, yaitu : perkembangan siswa merupakan hasil dari pembawaan, perkembangan siswa merupakan hasil lingkungan, dan perkembangan siswa merupakan hasil keduanya.
g.       Belajar adalah proses berkesinambungan
Belajar adalah proses kegiatan interaksi antara dirinya dengan lingkungannya yang dilakukan dari lahir sampai meninggal. Oleh karena itu, belajar adalah proses berkesinambungan.
h.       Belajar akan lebih berhasil jika dihubungkan dengan minat, perhatian, dan kebutuhan siswa
Keberhasilan belajar tidak seluruhnya ditentukan oleh kemampuan siswa akan tetapi juga oleh minatnya, perhatiannya, dan kebutuhannya. Dalam kaitan dengan ini maka motivasi sangat menentukan.

   C.     LANDASAN SOSIOLOGIS
Landasan sosiologis mengarahkan kajian mengenai kurikulum yang dikaitkan dengan masyarakat, kebudayaan, dan perkembangan ilmu pengetahuan.Ketiga hal tersebut merupakan landasan yang sangat mempengaruhi penetapan sisi kurikulum. Untuk lebih jelasnya, cermati uraian berikut ini :
1.      Kurikulum dan Masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok individu yang teroerganisasi yang berpikir tentang dirinya sebagai suatu yang berbeda dengan kelompok atau masyarakat lainnya.Sebagai akibat dari perkembangan yang terjadi saat ini, terutama sebagai pengaruh dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebutuhan hidup masyarakat semakin luas dan semakin meningkat sehingga tuntutan hidup pun semakin tinggi. Untuk terciptanya proses pendidikan yang sesuai dengan perkembangan masyarkat maka diperlukan rancangan pendidikan berupa kurikulum yang landasan pengembangannya memperhatikan perkembangan masyarakat.
Kurikulum sebagai program atau rancangan pendidikan harus dapat menjawab tantangandan tuntutan  masyarakat, bukan hanya dari segi isi programnya tetapi juga dari segi pendekatan dan strategi pelaksanaannya. Maka dari itu, guru sebagai pelaksna kurikulum dituntut lebih peka mengantisipasi perkembangan masyarakat, agar apa yang diberikan kepada siswa relevan dan berguna bagi kehidupannya dimasyarakat.pengembangan kurikulum yang hanya didasarkan pada kemampuan dasar saja tidak akan dapat memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Uraian tersebut, menunjukkan betapa pentingnya faktor kebutuha masyarakat dan tuntutan masyarakat dalam pengembangan kurikulum.

2.      Kurikulum dan Kebudayaan
Kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia yang diwujudkan dalam tiga hal sebagai berikut :
a.       Ide, konsep, gagasan, nilai, norma, dan peraturan. Wujud kebudayaan ini bersifat abstrak dan adanya dalama alam pikiran manusia dan warga masyarakat ditempat kebudayaan itu berada.
b.      Kegiatan, yaitu tindakan berpola dari manusia dalam bermasyarakat. Tindakan berpola manusia tentu didasarkan oleh wujud kebudayaan yang pertama.
c.       Benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan yang ketiga ini adalah seluruh fisik perbuatan atau hasil karya manusia di masyarakat.

Pendidikan pada hakikatnya mrupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Faktor kebudayaan merupakan bagian yang penting dalam pengembangan kurikulun dengan pertimbangan bahwa individu itu lahir belum berbudaya, baik dalam hal kebiasaan, cita-cita, sikap pengetahuan, keterampilan, dan sebagainya. Kurikulum pada dasarnya merupakan refleksi dari cara orang berpikir, berasa, bercita-cita, atau kebiasaan-kebiasaan.

3.      Kurikulum dan Perkembangan Iptek
Teknologi merupakan aplikasi dari ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu lainnya untuk memecahkan masalah-masalah praktis.Perkembangan teknologi industri mempunyai hubungan timbal balik dengan pendidikan.Industri dengan teknologi maju memproduksi berbagai macam alat dan bahan yang secara langsung atau tidak langsung dibutuhkan dalam pendidikan, sedangkan dalam kegiatan pendidikan membutuhkan dukungan dari penggunaan alat-alat hasil industri.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, secara langsung akan menjadi isi atau materi pendidikan. Sedangkan secara tidak langsung, perkembangan Iptek memberikan tugas kepada pendidikan untuk membekali masyarakat dengan kemampuan pemecah masalah yang dihadapi sebagai pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.Selain itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga dimanfaatkan untuk memecahkan masalah pendidikan.







BAB III
Penutup
A.     Kesimpulan